Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Terjemah Kitab Fathul Qorib Bab Qadzaf dan Li’an

Terjemah Kitab Fathul Qorib Bab Qadzaf dan Li’an
Terjemah Kitab Fathul Qorib Bab Qadzaf dan Li’an

Syarah Kitab Al-Ghayah wa At-Taqrib Matan Abu Syuja telah diberikan penjelasan (syarah) oleh para ulama, salah satunya adalah kitab Fathul Qarib al-Mujib atau al-Qaulul Mukhtar fi Syarah Ghayah al-Ikhtishar karya Syaikh Muhammad bin Qasim al-Ghazziy (918 H / 1512 M). Nama lengkap beliau adalah Muhammad bin Qasim bin Muhammad bin Muhammad al-Ghazi al-Qahiri as-Syafi'i. Beliau lebih dikenal dengan "Ibn al-Gharabili". Beliau lahir di bulan Rajab 859 H/1455 M di Gaza, Palestina dan di kota inilah beliau memulai kehidupan. Tepatnya pada hari Rabu, 6 Muharram 918 H/1512 M beliau wafat.

Dalam kitab fathul qorib al-mujib ini dibahas tentang fiqih Mazhab Imam Syafi'i terdiri dari muqaddimah dan pembahasan ilmu fiqih yang secara garis besar terdiri atas empat bagian, yaitu tentang cara pelaksanaan ibadah, muamalat, masalah nikah, dan kajian hukum Islam yang berbicara tentang kriminalitas atau jinayat

berikut Terjemah Bab Qadzaf dan Li’an Kitab Fathul Qorib teks arab berharakat disertai translate arti bahasa indonesia

Bab Qadzaf dan Li’an (Menuduh Zina)

(فَصْلٌ) فِيْ أَحْكَامِ الْقَذَفِ وَاللِّعَانِ

(Fasal) menjelaskan hukum qadzaf dan li’an.

وَهُوَ لُغَةً مَصْدَرٌ مَأْخُوْذٌ مِنَ اللَّعْنِ أَيِ الْبُعْدِ

Secara bahasa, li’an adalah bentuk kalimat masdar yang diambil dari lafadz “al la’nu” yang berati jauh.

وَشَرْعًا كَلِمَاتٌ مَخْصُوْصَةٌ جُعِلَتْ حُجَّةً لِلْمُضْطَرِ إِلَى قَذَفِ مَنْ لَطَخَ فِرَاشَهُ وَ أَلْحَقَ الْعَارَ بِهِ

Dan secara syara’ adalah beberapa kalimat tertentu yang dijadikan sebagai hujjah bagi orang yang terpaksa menuduh zina terhadap orang yang telah menodahi kehormatannya dan mempertemukan cacat padanya.

(وَإِذَا رَمَى) أَيْ قَذَفَ الرَّجُلُ زَوْجَتَهُ بِالزِّنَا فَعَلَيْهِ حَدُّ الْقَذَفِ) وَسَيَأْتِيْ أَنَّهُ ثَمَانُوْنَ جَلْدَةً

Ketika seorang laki-laki menuduh zina terhadap istrinya, maka wajib baginya untuk menerima had qadzaf, dan akan dijelaskan bahwa sesungguhnya had qadzaf adalah delapan kali cambukan.

(إِلَّا أَنْ يُقِيْمَ) الرَّجُلُ الْقَاذِفُ (الْبَيِّنَةَ) بِزِنَا الْمَقْذُوْفَة

Kecuali lelaki yang menuduh zina tersebut mampu mendatangkan saksi atas perbuatan zina wanita yang ia tuduh.

(أَوْ يُلَاعِنَ) زَوْجَتَهُ الْمَقْذُوْفَةَ

Atau lelaki tersebut melakukan sumpah li’an terhadap istrinya yang ia tuduh berzina.

وَفِيْ بَعْضِ النُّسَخِ أَوْ يَلْتَعِنُ بِأَمْرِ الْحَاكِمِ أَوْ مَنْ فِيْ حُكْمِهِ كَالْمُحَكَّمِ

Dalam sebagian redaksi menggunakan bahasa, “atau ia berkenan melakukan sumpah li’an dengan perintah seorang hakim atau orang yang hukumnya sama dengan hakim seperti muhakkam (orang yang diminta untuk menjadi juru hukum).


Proses Li’an

(فَيَقُوْلُ عِنْدَ الْحَاكِمِ فِيْ الْجَامِعِ عَلَى الْمِنْبَرِ فِيْ جَمَاعَةٍ مِنَ النَّاسِ) أَقَلُّهُمْ أَرْبَعَةٌ (أَشْهَدُ بِاللهِ أَنَّنِيْ لَمِنَ الصَّادِقِيْنَ فِيْمَا رَمَيْتُ بِهِ زَوْجَتِيْ) الْغَائِبَةَ (فُلَانَةً مِنَ الزِّنَا)

Kemudian lelaki tersebut berkata di hadapan hakim di masjid jami’ di atas mimbar di hadapan sekelompok orang minimal empat orang, “aku bersaksi demi Allah bahwa sesungguhnya aku termasuk golongan yang jujur atas tuduhan zina yang telah aku tuduhkan terhadap istriku, fulanah yang sedang tidak berada di sini.”

وَإِنْ كَانَتْ حَاضِرَةً أَشَارَ لَهَا بِقَوْلِهِ زَوْجَتِيْ هَذِهِ

Jika sang istri juga berada di tempat, maka lelaki itu memberi isyarah pada istrinya dengan ucapan, “istriku ini.”

وَإِنْ كَانَ هُنَاكَ وَلَدٌ يَنْفِيْهِ ذَكَرَهُ فِيْ الْكَلِمَاتِ فَيَقُوْلُ:

Jika di sana terdapat anak yang ia putus  dari nasabnya, maka iapun harus menyebutkan anak tersebut di dalam kalimat-kalimat sumpah li’an itu, maka ia berkata,

(وَإِنَّ هَذَا الْوَلَدَ مِنَ الزِّنَا وَلَيْسَ مِنِّيْ)

“dan sesungguhnya anak ini hasil dari zina, bukan dari saya.”

وَيَقُوْلُ الْمُلَاعِنُ هَذِهِ الْكَلِمَاتِ (أَرْبَعَ مَرَّاتٍ

Lelaki yang sumpah li’an tersebut harus mengucapkan kalimat-kalimat ini sebanyak empat kali.

وَيَقُوْلُ فِيْ) الْمَرَّةِ (الْخَامِسَةِ بَعْدَ أَنْ يَعِظَهُ الْحَاكِمُ) أَوِ الْمُحَكَّمُ بِتَخْوِيْفِهِ لَهُ مِنْ عَذَابِ اللهِ فِيْ الْآخِرَةِ وَأَنَّهُ أَشَدُّ مِنْ عَذَابِ الدُّنْيَا (وَعَلَيَّ لَعْنَةُ اللهِ إِنْ كُنْتُ مِنَ الْكَاذِبِيْنَ) فِيْمَا رَمَيْتُ بِهِ هَذِهِ مِنَ الزِّنَا

Dan pada tahapan kelima, setelah hakim atau muhakkam menasihatinya dengan memperingatkannya atas siksaan Allah di akhirat dan sesungguhnya siksa Allah di akhirat jauh lebih pedih daripada siksa di dunia, maka sang suami mengatakan, “dan saya berhak mendapatkan laknat Allah swt jika saya termasuk orang-orang yang bohong atas tuduhan zina yang saya tuduhkan pada istriku ini.”

وَقَوْلُ الْمُصَنِّفِ عَلَى الْمِنْبَرِ فِيْ جَمَاعَةٍ لَيْسَ بِوَاجِبٍ فِيْ اللِّعَانِ بَلْ هُوَ سُنَّةٌ .

Dan ungkapan mushannif, “di atas mimbar di hadapan jama’ah” adalah sesuatu yang tidak wajib dilakukan di dalam li’an bahkan hal itu hukumnya adalah sunnah.


Konsekwensi Li’an 

(وَيَتَعَلَّقُ بِلِعَانِهِ) أَيِ الزَّوْجِ وَإِنْ لَمْ تُلَاعِنِ الزَّوْجَةُ (خَمْسَةُ أَحْكَامٍ:)

Li’an yang dilakukan oleh seorang suami walaupun sang istri tidak melakukan sumpah li’an, berhubungan dengan lima hukum :

أَحَدُهَا (سُقُوْطُ الْحَدِّ) أَيْ حَدِّ الْقَذَفِ لِلْمُلَاعِنَةِ (عَنْهُ) إِنْ كَانَتْ مُحْصَنَةً وَسُقُوْطُ التَّعْزِيْرِ عَنْهُ إِنْ كَانَتْ غَيْرَ مُحْصَنَةٍ

Yang pertama, gugurnya had dari sang suami maksudnya had qadzaf yang dimiliki oleh istri yang dili’an, jika memang sang istri adalah wanita yang muhshan (terjaga), dan gugurnya ta’zir jika sang istri bukan wanita yang muhshan.

(وَ) الثَّانِيْ (وُجُوْبُ الْحَدِّ عَلَيْهَا) أَيْ حَدِّ زِنَاهَا مُسْلِمَةً كَانَتْ أَوْ كَافِرَةً إِنْ لَمْ تُلَاعِنْ

Yang kedua, tetapnya hukum had atas sang istri, maksudnya had zina baginya, baik ia wanita muslim ataupun kafir jika ia tidak melakukan sumpah li’an.

(وَ) الثَّالِثُ (زَوَالُ الْفِرَاشِ)

Yang ketiga, hilangnya hubungan suami istri.

وَعَبَّرَ عَنْهُ غَيْرُ الْمُصَنِّفِ بِالْفُرْقَةِ الْمُؤَبَّدَةِ وَهِيَ حَاصِلَةٌ ظَاهِرًا وَبَاطِنًا وَإِنْ كَذَّبَ الْمُلَاعِنُ نَفْسَهُ

Selain mushannif mengungkapkan hal ini dengan bahasa “perceraian untuk selama-lamanya”. Perceraian tersebut hukumnya sah / hasil dhahir batin, walaupun sang suami yang melakukan sumpah li’an tersebut mendustakan dirinya.

(وَ) الرَّابِعُ (نَفْيُ الْوَلَدِ) عَنِ الْمُلَاعِنِ

Yang ke empat, memutus hubungan anak dari suami yang melakukan sumpah li’an.

أَمَّا الْمُلَاعِنَةُ فَلَا يَنْتَفِيْ عَنْهَا نَسَبُ الْوَلَدِ

Sedangkan untuk istri yang melakukan sumpah li’an, maka nasab sang anak tidak bisa terputus dari dirinya.

(وَ) الْخَامِسُ التَّحْرِيْمُ) لِلزَّوْجَةِ الْمُلَاعِنَةُ (عَلَى الْأَبَدِ)

Yang kelima, mengharamkan sang istri yang melakukan sumpah li’an untuk selama-lamanya.

فَلَا يَحِلُّ لِلْمُلَاعِنِ نِكَاحُهَا وَلَا وَطْؤُهَا بِمِلْكِ الْيَمِيْنِ وَ لَوْ كَانَتْ أَمَّةً وَاشْتَرَاهَا

Sehingga bagi lelaki yang melakukan sumpah li’an tidak halal menikahinya lagi dan juga tidak halal mewathinya dengan alasan milku yamin, walaupun wanita tersebut berstatus budak yang ia beli.

وَفِيْ الْمُطَوَّلَاتِ زِيَادَةٌ عَلَى هَذِهِ الْخَمْسَةِ

Di dalam kitab-kitab yang panjang penjelasannya terdapat keterangan tambahan atas kelima hal ini.

مِنْهَا سُقُوْطُ حَصَانَتِهَا فِيْ حَقِّ الزَّوْجِ إِنْ لَمْ تُلَاعِنْ

Di antaranya adalah gugurnya status muhshan sang wanita bagi sang suami jika memang sang wanita tidak melakukan sumpah li’an juga.

حَتَّى لَوْ قَذَفَهَا بِزِنَا بَعْدَ ذَلِكَ لَا يُحَدُّ

Sehingga, seandainya setelah itu sang suami menuduhnya berbuat zina lagi, maka sang suami tidak berhak dihad.


Li’annya Sang Istri 

(وَيَسْقُطُ) الْحَدُّ (عَنْهَا بِأَنْ تَلْتَعِنَ) أَيْ تُلَاعِنَ الزَّوْجَ بَعْدَ تَمَامِ لِعَانِهِ

Had zina bisa gugur dari sang istri dengan cara ia membalas sumpah li’an, maksudnya melakukan sumpah li’an terhadap sang suami setelah li’an sang suami sempurna.

(فَتَقُوْلُ) فِيْ لِعَانِهَا إِنْ كَانَ الْمُلَاعِنُ حَاضِرًا (أَشْهَدُ بِاللهِ أَنَّ فُلَانًا هَذَا لَمِنَ الْكَاذِبِيْنَ فِيْمَا رَمَانِيْ بِهِ مِنَ الزِّنَا)

Di dalam li’annya dan sang suami hadir, maka sang istri berkata, “saya bersaksi demi Allah bahwa sesungguhnya fulan ini sungguh termasuk dari orang-orang yang dusta atas tuduhan zina yang ia tuduhkan padaku.”

وَتُكَرِّرُ الْمُلَاعِنَةُ هَذَا الْكَلَامَ (أَرْبَعَ مَرَّاتٍ

Wanita tersebut mengulangi ucapannya ini sebanyak empat kali.

وَتَقُوْلُ فِيْ الْمَرَّةِ الْخَامِسَةِ) مِنْ لِعَانِهَا (بَعْدَ أَنْ يَعِظَهَا الْحَاكِمُ) أَوِ الْمُحَكَّمُ بِتَخْوِيْفِهِ لَهَا مِنْ عَذَابِ الله ِفِيْ الْآخِرَةِ وَأَنَّهُ أَشَدُّ مِنْ عَذَابِ الدُّنْيَا (وَعَلَيَّ غَضَبُ اللهِ إِنْ كَانَ مِنَ الصَّادِقِيْنَ) فِيْمَا رَمَانِيْ بِهِ مِنَ الزِّنَا

Pada tahapan kelima dari li’annya setelah hakim atau muhakkam menasihatinya dengan memperingatkan padanya akan siksaan Allah Swt di akhirat dan sesungguhnya siksa-Nya di akhirat jauh lebih pedih daripada siksaan di dunia, maka wanita tersebut berkata, “dan saya berhak mendapat murka Allah Swt jika dia termasuk orang-orang yang jujur atas tuduhan zina yang ia tuduhkan padaku.”

وَمَا ذُكِرَ مِنَ الْقَوْلِ الْمَذْكُوْرِ مَحَلُّهُ فِيْ النَّاطِقِ

Perkataan yang telah dijelaskan di atas tempatnya adalah bagi orang yang bisa bicara.

أَمَّا الْأَخْرَسُ فَيُلَاعِنُ بِإِشَارَةٍ مُفْهِمَةٍ

Adapun orang bisu, maka ia melakukan sumpah li’an dengan menggunakan isyarah yang bisa memahamkan orang lain.

وَلَوْ أَبْدَلَ فِيْ كَلِمَاتِ اللِّعَانِ لَفْظَ الشَّهَادَةِ بِالْحَلْفِ كَقَوْلِ الْمُلَاعِنِ أَحْلِفُ بِاللهِ أَوْ لَفْظَ الْغَضَبِ بِاللَّعْنِ أَوْ عَكْسِهِ كَقَوْلِهَا لَعْنَةُ اللهِ عَلَيَّ وَقَوْلِهِ غَضَبُ اللهِ عَلَيَّ أَوْ ذُكِرَ كُلٌّ مِنَ الْغَضَبِ وَاللَّعْنِ قَبْلَ تَمَامِ الشَّهَادَاتِ الْأَرْبَعِ لَمْ يَصِحَّ فِيْ الْجَمِيْعِ .

Seandainya di dalam kalimat-kalimat li’an tersebut, ia mengganti lafadz “asy sahadah” dengan lafadz “al halfu” seperti ucapan orang yang melakukan sumpah li’an, “saya bersumpah demi Allah”, atau mengganti lafadz “al ghadlab” dengan lafadz “al la’nu”, atau sebaliknya seperti ucapan wanita yang melakukan sumpah li’an, “laknat Allah wajib atas diriku” dan ucapan lelaki yang sumpah li’an, “murka Allah atas diriku”, atau masing-masing dari lafadz “al ghadlab” dan “al la’nu” diucapkan sebelum  empat kalimat sahadat sempurna, maka li’an dalam semua permasalahan ini tidak sah.


Posting Komentar untuk "Terjemah Kitab Fathul Qorib Bab Qadzaf dan Li’an"